TNews, BINJAI — Drama hukum kembali memanas di Kota Binjai. Sebuah pengembalian dana proyek senilai Rp 1,4 miliar mendadak menggemparkan publik. Bukan karena kebaikan hati pelakunya, tapi karena waktunya yang mencurigakan—tepat saat penyelidikan oleh Kejaksaan Negeri Binjai dimulai.
Kronologi kasus ini menyeret banyak tanda tanya. Pengembalian uang dilakukan saat pihak rekanan proyek dipanggil oleh Kejari Binjai berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor: Print-10/L.2.11/Fd.1/07/2025, tertanggal 15 Agustus 2025. Tapi alih-alih hadir, pihak rekanan malah mangkir dengan dalih sedang mengurus pengembalian dana ke kas negara.
Pengembalian uang sebesar itu tentu bukan hal biasa, apalagi dilakukan tanpa proses hukum yang jelas. Banyak pihak menduga ini hanya akal-akalan untuk menghindari jerat pidana. Salah satu yang lantang menyuarakan kejanggalan ini adalah praktisi hukum Arif Budiman Simatupang, SH.
“Ini bukan sikap kooperatif. Ini adalah skenario vulgar untuk menghindari proses hukum. Perbuatannya sudah sempurna sebagai tindak pidana. Pengembalian dana tidak menghapus kejahatan korupsi,” tegas Arif saat ditemui di kantornya, Rabu (27/8/2025).
Kasus ini berawal dari proyek pemeliharaan berkala di Jalan Gunung Sinabung dan Jalan Samanhudi, yang menggunakan Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit tahun 2024 senilai total Rp 14 miliar lebih. Proyek ditandatangani 22 Oktober 2024 dan dijadwalkan selesai 20 Desember 2024.
Namun fakta di lapangan berbeda 180 derajat. Tidak ada satu pun aktivitas pekerjaan. Lebih mengejutkan, justru di tanggal yang sama—saat pekerjaan seharusnya rampung—PPK mencoba mencairkan uang muka proyek sebesar 30%. Gagal di percobaan pertama, pencairan akhirnya berhasil di akhir Desember 2024.
“Anehnya, lokasi proyek justru sedang dalam proses penggalian oleh perusahaan lain (Nata Karya). Bagaimana mungkin ada pemeliharaan jalan, kalau jalannya sendiri sedang digali?” sindir Arif tajam.
Baru pada 23 Mei 2025, BPK RI Perwakilan Sumatera Utara mengeluarkan Laporan Audit Nomor: 53.A/LHP/XVIII.MDN/05/2025, yang menyebutkan adanya kerugian negara dalam proyek ini. Namun langkah pemutusan kontrak oleh PPK baru terjadi setelah audit keluar, bukan saat wanprestasi mulai terjadi.
Menurut Arif, ini adalah indikasi kuat adanya permainan sistematis.
“PPK seharusnya memutus kontrak sejak pekerjaan tidak berjalan. Fakta bahwa ini tidak dilakukan, menunjukkan potensi adanya konspirasi dalam tubuh pemerintahan sendiri,” tambahnya.
Pertanyaan mendasar yang diajukan Arif sangat menggelitik logika:
“Jika mereka punya uang Rp 1,4 miliar untuk dikembalikan, kenapa tidak digunakan untuk mengerjakan proyek sejak awal?”
Undang-Undang Tipikor pun jelas. Pasal 4 menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana. Jadi, uang yang dikembalikan bukan berarti pelaku bisa lepas dari jerat hukum.
“Justru pengembalian dana ini memperkuat bukti bahwa tindak pidana telah terjadi. Ini adalah pengakuan bersalah secara tidak langsung,” tegasnya.
Arif menyerukan Kejaksaan Negeri Binjai untuk segera menaikkan status kasus ini ke tahap penyidikan agar bisa dilakukan tindakan paksa seperti pemanggilan saksi dan penyitaan dokumen.
Ia juga menegaskan pentingnya menelusuri asal-usul dana yang dikembalikan. Jangan-jangan uang tersebut berasal dari pihak lain, yang berupaya menutupi jejak kejahatan.
“Kejaksaan harus melibatkan PPATK dan menyelidiki apakah ini masuk ke ranah pencucian uang,” pungkasnya.
Saat dikonfirmasi oleh media, Kepala Seksi Intelijen Kejari Binjai, Noprianto Sihombing, SH. MH, memberikan jawaban singkat:
“Aku cek dulu ya Bang, kebenaran yang abang tanyakan ke Pidsus supaya nggak salah jawab nanti.”
Laporan : Nanda