Walk Out Pecah di DPRD Binjai, Wakil Ketua II Diduga Tekan Anggota Lewat SPT

Gambar: Fitri Mutiara Harahap dan Firdaus keluar dari ruang rapat sebagai bentuk protes dalam Rapat Gabungan Komisi pembahasan RAPBD Kota Binjai 2026, Sabtu, 29 November 2024. Foto: Nanda.

TNews, BINJAI – Di tengah pembahasan alot Rancangan Peraturan Daerah APBD Kota Binjai Tahun Anggaran 2026, suasana Rapat Gabungan Komisi pada Sabtu (29/11) mendadak memanas. Dari pantauan dan keterangan sejumlah peserta rapat, dugaan praktik intimidasi kekuasaan mencuat setelah Wakil Ketua II DPRD Binjai, Hairil Anwar (PKS), disebut melontarkan pernyataan bernada ancaman kepada anggota dewan yang berbeda pandangan.

Kericuhan bermula setelah rapat diskors untuk salat Zuhur. Ketika pembahasan kembali dibuka sekitar pukul 13.00 WIB, forum masuk ke agenda paling sensitif: alokasi anggaran pengamanan pimpinan DPRD sekitar Rp600 juta, termasuk biaya tenaga keamanan hingga gaji ke-13 dan ke-14.

Dalam sesi itu, Sekretaris Komisi A, Fitri Mutiara Harahap (PAN), mengkritik anggaran tersebut sebagai tidak efektif dan berpotensi membebani keuangan daerah. Kritik itu rupanya tidak diterima baik. Menurut kesaksian beberapa anggota, Hairil Anwar diduga menegaskan bahwa dirinya tak akan menandatangani Surat Perintah Tugas (SPT) bagi anggota yang tidak menyetujui pos anggaran tersebut.

Pernyataan itulah yang memicu ketegangan. Fitri Mutiara Harahap bersama Firdaus (Demokrat) memilih meninggalkan ruang rapat sebagai bentuk protes terbuka. Keduanya menilai ancaman tersebut merusak prinsip musyawarah dan menghalangi kebebasan berpendapat dalam pembahasan anggaran.

Dari penelusuran lebih lanjut, dugaan penggunaan SPT sebagai alat tekanan politik menuai sorotan tajam karena menyentuh aspek fundamental etika legislasi. Beberapa pihak menyebut tindakan itu bukan sekadar pelanggaran dalam dinamika rapat, tetapi berpotensi menjadi preseden buruk yang merusak marwah lembaga.

Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Kota Binjai termasuk yang paling vokal menanggapi. Walikota LSM LIRA Kota Binjai, Arif Budiman Simatupang, SH, menyebut tindakan tersebut—apabila terbukti—masuk kategori pelanggaran etik berat.

“SPT bukan alat kekuasaan pimpinan. Itu hak administratif anggota DPRD untuk menjalankan tugas. Jika dipakai menekan sikap politik, itu bentuk nyata penyalahgunaan wewenang,” tegas Arif saat ditemui Senin (1/12).

Arif menilai, ancaman dalam forum resmi menunjukkan rendahnya toleransi terhadap kritik, terutama saat anggaran yang dibahas berkaitan dengan kepentingan pimpinan DPRD sendiri. “DPRD tidak boleh menjadi institusi yang alergi kritik. Bila intimidasi dibiarkan, itu merusak wajah demokrasi lokal,” ujarnya.*

Peliput: Nanda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan